Beranda | Artikel
Keluar Masjid yang Hukumnya Masih Diperselisihkan
Jumat, 22 April 2022

Pembahasan Kedua
Keluar Masjid yang Hukumnya Masih Diperselisihkan

Sebagian ulama ada yang membolehkan dan sebagian lagi ada yang tidak membolehkan, di antaranya untuk menjenguk orang sakit, shalat jenazah dan mengantar jenazah.

Para imam memiliki beberapa pendapat yang berbeda sebagai berikut:

  1. Asy-Syafi’i: Beliau membedakan antara ibadah nafilah (sunnah) dengan nadzar, dan beliau melarang jika berkaitan dengan nadzar. Di antara imam yang melarangnya adalah Malik, Abu Hanifah dan salah satu riwayat yang shahih dari Ahmad. Juga diriwayatkan dari Sa’id bin Musayyib, ‘Atha’, Mujahid, ‘Urwah bin Jubair dan azZuhri.
  2. Dawud dan Ibnu Hazm dari madzhab Zhahiriyah membolehkannya. Dan pendapat ini juga dinisbatkan kepada Sa’id bin Jubair, al-Hasan al-Bashri, Ibrahim an-Nakha-i, Sufyan ats-Tsauri, dan Qatadah.

Perincian masalah ini adalah sebagai berikut:

  1. Madzhab Maliki: setiap aktifitas keluar masjid akan mambatalkan ibadah i’tikaf kecuali untuk buang air besar dan kecil, muntah, mandi junub, mencuci pakaian yang terkena najis dan semua kebutuhan yang tidak mungkin dilakukan di dalam masjid. Ia membolehkan keluar masjid untuk membeli makanan yang ia butuhkan selama ia tidak melewati tempat penjualan yang terdekat. Jika tidak, maka i’tikafnya batal. Boleh juga makan di teras atau di sekitar masjid.
  2. Madzhab Hanafi: Tidak dibolehkan keluar masjid kecuali untuk sesuatu yang diperlukan manusia, seperti buang air kecil dan besar serta untuk melaksanakan shalat Jum’at jika di masjid tempat ia beri’tikaf tidak didirikan shalat Jum’at.
  3. Madzhab Hanbali: Kaidah dasar mereka, boleh keluar dari masjid untuk menunaikan sesuatu yang diwajibkan Allah, seperti shalat Jum’at, memberikan persaksian, menyelamatkan orang hanyut, memadamkan kebakaran dan lain-lain, kecuali ia bernadzar i’tikaf yang dilakukan pada beberapa hari berturut-turut. Mereka juga membolehkan makan di luar masjid, karena makan di dalam masjid berarti tidak menghormatinya dan merupakan tindakan yang menyalahi kebiasaan baik. Tidak boleh keluar untuk menjenguk orang sakit, menyaksikan jenazah kecuali apabila hal itu menjadi syarat i’tikafnya.
  4. Pendapat asy-Syafi’iyyah: sama persis seperti pendapat madzhab Hanbali.
  5. Pendapat Zhahiriyah tentang keluar dari masjid:

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Boleh keluar untuk menunaikan segala sesuatu yang diwajibkan terhadap seorang muslim dan i’tikaf tidak menghalangi mereka untuk melaksanakan kewajiban tersebut.”[1]

Dengan demikian termasuk di dalamnya melaksanakan shalat Jum’at, mengunjungi orang sakit, shalat jenazah, memenuhi undangan makan, jika ia sedang berpuasa, maka ia datang untuk menyampaikan udzurnya (halangannya), dan untuk memberikan persaksian. Pada tempat lain ia berkata, “Kami tidak mengetahui hujjah orang yang melarang apa yang telah kami sebutkan, baik dari al-Qur-an maupun dari as-Sunnah dan tidak juga dari para Sahabat serta dari hukum qiyas. Kita tanyakan kepada mereka, ‘Apa perbedaan antara keluar masjid untuk membuang hajat dengan membeli sesuatu yang sangat diper-lukan dan untuk melaksanakan sesuatu yang diwajibkan Allah?’”[2]

Perkataan Ibnu Hazm ini terdapat keanehan dan keganjilan. Kemungkinan karena saya tidak faham apa maksud perkataannya. Sebab pendapatnya ini bertentangan dengan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anha yang lalu dan diriwayatkan oleh Ibnu Hazm sendiri.

Dalil-dalil hukum di atas:

  1. Hadits Sayyidah ‘Aisyah Radhiyallahu anha ia berkata:

اَلسُّنَّةُ عَلَى الْمُعْتَكِفِ أَنْ لاَ يَعُوْدَ مَرِيْضًا، وَلاَ يَشْهَدَ جَنَازَةً، وَلاَ يَمَسَّ امْرَأَةً، وَلاَ يُبَاشِرَهَا،…

Termasuk sunnah seorang yang sedang ber-i’tikaf agar tidak menjenguk orang sakit, tidak mengikuti jenazah, tidak berhubungan dan bercumbu dengan isterinya, kecuali… hingga akhir.” Takhrij hadits ini telah kami singgung.

  1. Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha bahwa apabila sedang melaksanakan i’tikaf, ia tidak bertanya tentang kondisi orang sakit, ia hanya berlalu dan tidak singgah (menjenguk).

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad yang shahih. Lafazhnya sebagai berikut:“Jika aku masuk ke dalam rumah untuk suatu keperluan sementara di sana ada orang sakit, maka aku berlalu begitu saja.”[3]

  1. Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha ia berkata, “Apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang i’tikaf, lalu beliau melintasi orang sakit, maka beliau akan berlalu begitu saja dengan tidak singgah dan menanyai kondisi orang sakit tersebut.” Hadits riwayat Abu Dawud[4] dan di dalam sanadnya ada perbincangan.[5]
  1. Diriwayatkan dari ‘Ashim bin Hamzah ia berkata, “‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu berkata, ‘Jika seseorang i’tikaf hendaklah ia melaksanakan shalat Jum’at, menghadiri penyelenggaraan jenazah, menjenguk orang sakit, mendatangi keluarganya untuk memberikan kebutuhannya dalam posisi berdiri.” Hadits riwayat ‘Abdurrazzaq dalam kitab Mushannafnya.
  1. Diriwayatkan dari ‘Abdurrazzaq dari Sufyan bin ‘Uyainah dari ‘Ammar bin ‘Abdullah bin Yasar dari ayahnya, bahwasanya ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu membantu keponakannya, Ja’dah bin Hubairah dengan memberikan enam ratus dirham untuk membeli budak. Lalu ia berkata, “Aku sedang i’tikaf.” Lalu ‘Ali berkata kepadanya, “Tidak mengapa engkau keluar ke pasar untuk membelinya.”[6]
  2. ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu berkata, “Barangsiapa sedang i’tikaf, maka janganlah ia mengeluarkan perkataan kotor, jangan mencaci-maki dan ia boleh shalat Jum’at, menghadiri penyelenggaraan jenazah, mengantar keluarganya jika mereka datang untuk suatu keperluan, tetapi ia hanya boleh berdiri tidak duduk di rumahnya.”[7]

‘Abdurrazzaq mencantumkan hadits ini lebih dari dua puluh tujuh sanad dari para Sahabat dan Tabi’in dengan pendapat yang berbeda-beda. Silahkan membacanya!…

Kesimpulan
Seseorang yang mempelajari kitab-kitab fiqih akan dapat menyimpulkan sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat. Sebabnya adalah penetapan kaidah yang dijadikan standar untuk menetapkan hukum boleh, larangan dan pentarjihan antara dua perkara. Dan hukum keluar dari masjid seperti biasa tentunya bertentangan dengan apa yang difahami dari ibadah i’tikaf itu sendiri. Atau mungkin keluar dari masjid dapat dibagi menjadi beberapa bagian beserta hukumnya sebagai berikut:

  1. Darurat. Yakni sesuatu yang terpaksa dilakukan sehingga membolehkan keluar dari masjid dengan tidak melampaui batas dan melewati batas darurat. Para ulama sepakat dalam masalah ini, hanya saja berbeda pandangan di saat menentukan rinciannya.
  2. Keluar untuk melaksanakan satu kewajiban atas dirinya, karena mempertimbangkan an-tara menetap untuk i’tikaf atau keluar untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Dalam perkara ini harus diperhatikan dua hal:

Pertama: Di sana ada perbedaan antara keluarnya orang yang i’tikaf dari masjid karena ia menganggap ringan suatu perkara yang memang ada keluasan dalam syari’at dan masalah yang memiliki pilihan, tetapi ia memilih perkara yang sulit dan rumit. Seperti ia i’tikaf di masjid yang di dalamnya tidak didirikan shalat Jum’at, lalu ia meninggalkan shalat Jum’at tanpa alasan syar’i. Contohnya masjid yang di dalamnya didirikan shalat Jum’at lokasinya terlalu jauh atau ia khawatir jika ia i’tikaf keluarganya senantiasa mendatanginya atau karena takut atau karena penyakit, kejahilan atau karena lupa. Ia memilih masjid karena ia sendiri yang memperketatnya, padahal syari’at memberinya kelapangan. Dengan demikian ia wajib keluar untuk menunaikan shalat Jum’at.

Jika ia sedang melakukan i’tikaf nadzar dengan hari berturut-turut, maka ia harus mulai dari awal. Apabila i’tikaf tersebut i’tikaf nafilah, maka ia harus memutuskan i’tikafnya dan setelah itu ia kembali ke tempat i’tikafnya dengan niat yang baru. Adapun bagi orang yang tidak wajib menunaikan shalat Jum’at , seperti musafir, wanita, anak-anak yang belum baligh dan lain-lain, maka tidak wajib atasnya untuk keluar dari tempat i’tikaf bahkan keluar dari tempat i’tikaf akan membatalkan i’tikafnya.

Kedua: Apabila ia harus melaksanakan satu kewajiban, maka hendaknya ia memperhatikan: apabila perkara tersebut fardhu ‘ain, maka ia wajib melaksanakannya karena tidak mungkin diwakilkan kepada orang lain. Seperti memberi-kan persaksian yang tidak mungkin diwakilkan kepada orang lain untuk mengamalkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَۤاءُ اِذَا مَا دُعُوْا

“…Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil…” [Al-Baqarah/2: 282]

Terutama yang berkaitan dengan hak darah atau hukum hudud yang tidak mungkin ditunda dan ia dipanggil untuk melaksanakannya. Atau seseorang meminta amanah yang telah ia berikan, maka ia wajib segera mengembalikan amanah yang telah ia terima, sebagai realisasi firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

 اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…” [An-Nisaa’/4: 58]

Atau apabila kedua orang tuanya atau salah seorang dari orang tuanya meninggal atau sedang sakit keras, ia boleh keluar dari tempat i’tikafnya sesuai dengan kebutuhan dan kembali ke tempat i’tikafnya. Hal ini tidak sedikit pun mengurangi pahala i’tikafnya, karena pahala dari amalan yang ia lakukan tersebut lebih besar dari pada pahala i’tikaf itu sendiri atau lebih wajib.

  1. Jika perkara yang akan ia lakukan itu fardhu kifayah atau sunnah, maka ia harus lebih mendahulukan i’tikaf nadzarnya. Demikian juga halnya dengan i’tikaf sunnah. Apabila tinggal di tempat i’tikaf lebih diutamakan dari pada melakukan suatu perkara yang tidak dikhususkan untuk dirinya saja, seperti keluar untuk menjenguk orang sakit, mengikuti jenazah, memenuhi undangan, maka hendak-nya semua orang tahu bahwa orang yang i’tikaf harus tetap di tempat i’tikafnya dan hendak dimaklumi bahwa ia tidak dapat keluar dari masjid.
  2. Adapun jika ia terpaksa keluar dari tempat i’tikafnya, seperti dipaksa penguasa atau masjid akan roboh, terbakar atau banjir melanda atau situasi dan kondisi yang memaksa orang yang sedang i’tikaf harus keluar dari tempat i’tikafnya, maka ia boleh pindah ke masjid lain jika i’tikaf yang ia lakukan i’tikaf wajib yang harus dilaksanakan berturut-turut. Dan ia boleh melanjutkan hari i’tikaf sesuai dengan hari i’tikaf yang telah ia lewati. Jika i’tikaf itu tidak wajib, maka ia boleh memilih apa yang ia kehendaki. Wallaahu a’lam.

[Disalin dari kitab Ad-Du’aa’ wal I’tikaaf, Penulis Syaikh Samir bin Jamil bin Ahmad ar-Radhi, Judul dalam bahasa Indonesia I’tikaf Menurut Sunnah yang Shahih, Penerjemah Abu Ihsan al-Atsari, Penerbit  Pustaka Ibnu Katsir]
______
Footnote
[1] Al-Muhallaa (V/191), karya Ibnu Hazm.
[2] Ibid.
[3] HR. Ibnu Majah (I/565, no. 1778).
[4] Mukhtashar as-Sunan (III/2362).
[5] Dalam sanadnya terdapat Laits bin Abi Sulaiman yang masih diperselisihkan. Syaikh al-Muthi’i berkata, “Muslim meri-wayatkan haditsnya jika ada penguatnya dan ia adalah salah seorang ulama.” Ahmad berkata, “Haditsnya muththarib, tetapi banyak orang-orang yang meriwayatkan hadits darinya.” Yahya dan an-Nasa-i berkata, “Ia perawi dha’if.” Ibnu Ma’in juga berkata, “Tidak mengapa.” Ibnu Hibban berkata, “Terjadi kekacauan hafalan di akhir usianya.” Ad-Daraquthni ber-kata, “Ia adalah pemilik hadits-hadits, hanya saja orang-orang mengingkarinya dalam mengumpulkan antara ‘Atha’, Tha-wus, Mujahid.” ‘Abdul Warits berkata, “Ia termasuk kantung ilmu.” Ibnu ‘Iyadh berkata, “Orang yang paling banyak mengerjakan shalat.” Di antara ulama yang mendha’ifkannya adalah Syu’bah, Yahya bin Sa’id, dan Sufyan mengklaim munkar salah satu haditsnya. Lihat adh-Dhu’afaa’, karya al-‘Uqaili (IV/16).
[6] Al-Mushannaf (IV/362, no. 8074).
[7]  Al-Mushannaf (IV/362, no. 8049).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/54869-keluar-masjid-yang-hukumnya-masih-diperselisihkan.html